img: go.ikmal.org |
Al-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i رحمه الله menyebutkan dari az-Zuhri dan Urwah bahwa Isra’ Mi’raj terjadi setahun
sebelum Nabi صلى الله عليه وسلم hijrah ke kota Madinah, yaitu
bulan Rabi’ul Awwal. Adapun
pendapat as-Suddi, waktunya adalah enam belas bulan sebelum hijrah, yaitu bulan
Dzulqa’dah. Al-Hafizh Abdul Ghani bin Surur al-Maqdisi membawakan dalam Sirahnya
hadits yang tidak shahih sanadnya tentang waktu Isra’ Mi’raj pada tanggal 27
Rajab. Dan sebagian manusia menyangka bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada malam
Jum’at pertama bulan Rajab, yaitu malam Ragha’ib, yang ditunaikan pada waktu
tersebut sebuah shalat yang masyhur tetapi tidak ada asalnya.1
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata: “Tidak ada dalil shahih yang menetapkan bulan maupun
tanggalnya, seluruh nukilan tersebut munqathi’ (terputus) dan
berbeda-beda.”2
Bahkan Imam Abu Syamah asy-Syafi’i رحمه الله menegaskan, “Sebagian tukang cerita menyebutkan bahwa Isra’ Mi’raj
terjadi pada bulan Rajab. Hal
itu menurut ahli hadits merupakan kedustaan yang amat nyata.”3
Dari
perkataan para ulama di atas, disimpulkan Isra’ Mi’raj merupakan malam yang
agung, namun tidak diketahui waktunya. Agar pembaca memahami masalah ini dengan
mudah, saya katakan: “Ada
sebagian
ibadah yang berkaitan erat dengan waktu, kita tidak boleh melangkahinya, seperti
shalat lima
waktu.
Sebagian ibadah lainnya, Alloh menyembunyikan waktunya dan memerintahkan kita
berlomba-lomba mencarinya, seperti malam Lailatul Qadar. Dan ada sebagian waktu
yang mulia derajatnya di sisi Alloh namun tidak ada ibadah khusus (seperti
shalat dan puasa) untuknya. Oleh karena itu, Alloh menyembunyikan waktunya,
seperti malam Isra’ Mi’raj.”4
Ditinjau dari segi syari’at, jika memang benar Isra’ Mi’raj terjadi pada
27 Rajab, bukan berarti waktu tersebut harus dijadikan sebagai malam perayaan
dengan pembacaan kisah-kisah palsu tentang Isra’ Mi’raj. Bagi
seseorang yang tidak mengikuti hawa nafsunya, tidak akan ragu bahwa hal tersebut
termasuk perkara bid’ah dalam Islam. Sebab, perayaan tersebut tidaklah dikenal
di masa sahabat, tabi’in, dan para pengikut setia mereka. Islam hanya memiliki
tiga hari raya; Idul Fitri dan Idul Adha setiap satu tahun, dan hari Jum’at
setiap satu minggu. Selain tiga ini, tidak termasuk agama Islam secuil pun.5
Ibnu
Hajj رحمه الله berkata,
“Termasuk perkara bid’ah yang diada-adakan orang-orang pada malam 27 Rajab
adalah….” Kemudian beliau menyebutkan beberapa contoh bid’ah pada malam tersebut
seperti kumpul-kumpul di masjid, ikhtilath (campur-baur antara laki-laki
dan perempuan), menyalakan lilin dan pelita. Beliau juga menyebutkan, perayaan
malam Isra’ Mi’raj termasuk perayaan yang disandarkan kepada agama, padahal
bukan darinya.”6
Ibnu Nuhas رحمه الله berkata, “Sesungguhnya perayaan malam ini (Isra’ Mi’raj) merupakan
kebidahan besar dalam agama yang diada-adakan oleh saudara-saudara setan.”7
Muhammad bin Ahmad asy-Syafi’i
menegaskan, “Pembacaan kisah Mi’raj dan perayaan malam 27 Rajab merupakan
perkara bid’ah …. Dan kisah Mi’raj yang disandarkan kepada Ibnu Abbas
رضي الله عنه, seluruhnya merupakan
kebatilan dan kesesatan. Tidak
ada yang shahih, kecuali beberapa huruf saja. Demikian pula kisah Ibnu Sulthan,
seorang penghambur yang tidak pernah shalat kecuali di bulan Rajab saja. Namun
tatkala hendak meninggal dunia, terlihat padanya tanda-tanda kebaikan. Sehingga
saat Rasulullah صلى الله عليه وسلم ditanya perihalnya, beliau menjawab,
“Sesungguhnya dia telah bersungguh-sungguh dan berdo’a pada bulan Rajab.” Semua
ini merupakan kedustaan dan kebohongan. Haram hukumnya membacakan dan melariskan
riwayatnya, kecuali untuk menjelaskan kedustaannya. Sungguh sangat mengherankan
kami, tatkala para jebolan al-Azhar membacakan kisah-kisah palsu seperti ini
kepada khalayak.”8
Samahatusy
Syaikh Abdul Aziz bin Baz رحمه الله berkata,
“Malam Isra’ Mi’raj tidak diketahui waktu terjadinya. Karena seluruh riwayat
tentangnya tidak ada yang shahih menurut para pakar ilmu hadits. Di sisi
Alloh-lah hikmah di balik semua ini. Kalaulah memang diketahui waktunya, tetap
tidak boleh bagi kaum muslimin mengkhususkannya dengan ibadah dan perayaan.
Sebab hal itu tidak pernah dilakukan Nabi صلى الله عليه وسلم dan para sahabatnya. Seandainya
disyari’atkan, pastilah Nabi صلى الله عليه وسلم menjelaskannya kepada umat, baik dengan
perkataan maupun dengan perbuatan….”
Kemudian
beliau berkata, “Dengan penjelasan para ulama beserta dalil-dalil dari al-Qur’an
dan hadits di atas, sudah cukup bagi para pencari kebenaran mengingkari bid’ah
malam Isra’ Mi’raj yang memang bukan dari Islam secuil pun …. Sungguh amat
menyedihkan, bid’ah ini meruyak di segala penjuru negeri Islam sehingga diyakini
sebagian orang bahwa perayaan tersebut merupakan agama. Kita berdo’a kepada
Alloh Ta’ala agar memperbaiki keadaan kaum muslimin semuanya dan memberi karunia
kepada mereka berupa ilmu agama dan taufiq serta istiqamah di atas
kebenaran.”9
Demikianlah tulisan artikel yang saya salin kembali, semoga dapat kita ambil hikmahnya.
foot note:
1. al-Bidayah wan Nihayah
(3/108-109) cet. Maktabah al-Ma’arif.
2. Zadul
Ma’ad 1/57
oleh Ibnul Qayyim.
3. al-Ba’its ala Inkar Bida’ wal Hawadits hal.
171.
4. Majalah at-Tauhid,
Mesir hal. 9 edisi 7 tahun 28, Rajab 1420 H)
5. at-Tamassuk bis Sunnah Nabawiyah
(33-34) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
6. al-Madkhal
1/294-298 dinukil dari al-Bida’ al-Hauliyah hal. 275-276 oleh Syaikh
Abdullah bin Abdul Aziz at-Tuwaijiri.
7. Tanbihul Ghafilin
379-380.
8. as-Sunan wal Mubtada’at hal.
127.
9. at-Tahdzir minal Bida’ hal.
9 oleh Syaikh Ibnu Baz.