Bujang Kurap dan Danau Rayo

  
Banyak versi kisah bujang Kurap, tapi yang paling mirip dengan cerita nekno (nenek) saya adalah cerita berikut ini. Cerita yang saya upload kembali ke Murataraku.com. Semoga, ada hikmah yang dapat kita petik. Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada RD.Kedum yang telah menceritakan kembali kisah ini.

     Ceritanya begini, Pada Zaman dahulu kala ada sebuah desa yang bernama Pagar Remayu, dan pada akhirnya berubah menjadi Karang Panggung. Dipimpin oleh empat orang kakak beradik, yaitu Seteguk Abang Mata, Rio Cinde, Raden Cili dan Bujang Teriti. Di antara keempat kakak beradik itu ada seorang yang mempunyai anak gadis luar biasa cantiknya. Yang bernama Putri Seruni. Sejak kecil telah di tinggal mati ibunya.
     Tak ada seorangpun yang berani melamar putri Seruni karena kecantikannya hingga Seruni tumbuh menjadi gadis dewasa. Karena kecantikannya membuat Raja tidak mengizinkan lelaki lain mendekatinya. Munculah niat baginda untuk mempersunting anaknya sendiri untuk dijadikannya permaisuri.
“Aku nak kawin dengan putriku Hulubalang. Tolong kau restui aku” Kata Baginda suatu hari.
“Jangan baginda, ini tidak pantas kita lakukan. Melanggar adat Baginda” kata Hulubalang meyakinkan.Tapi baginda masih bersikukuh untuk mengawini putrinya. Semakin dihalangi, semakin besarlah hasratnya.
      Suatu hari baginda pergi menemui seorang Sunan yang bijak di Palembang. Sang Raja bertanya kepada Sunan.
“Sunan, apabila ada orang yang menanam pisang, siapa yang berhak mengambil buahnya” Lalu jawab Sunan “Tentu orang yang menanamnya”.
“Terima kasih Sunan aku telah mendapat jawabannya” Kata Raja dengan wajah berseri. Rajapun pulang dan mengabarkan kepada rakyatnya bahwa Sunan menyetujuinya. Akhirnya tersiarlah keseluruh pelosok negeri dan dipersiapkanlah pesta besar-besaran tujuh hari tujuh malam menjelang perkawinan Baginda dengan Putri Seruni anaknya.
       Di tengah keramaian pesta, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang buruk rupa. Badanya penuh koreng yang menjijikan. Semua merasa jijik melihatnya. Si buruk rupa dihardik, bahkan dilempari dan dicaci maki.
“Hai Bujang Kurap! Mengapa kau datang kemari? Tidak pantas orang seperti kau datang di pesta yang meriah ini” Kata seorang Hulubalang.
“Kau dengar Bujang Kurap!! Pergi kau dari sini. Kami jijik melihat badanmu yang penuh kurap dan busuk!!” Akhirnya Bujang Kurap pergi ke pinggir dusun. Dilihatnya semua masyarakat pergi ke pesta Baginda. Hanya ada seorang nenek yang berdiam di rumah. Nenek Bengkuang namanya. Sang nenek sangat ramah menyambut kehadiran Bujang Kurap.
“Nek, mengapa tidak pergi ke alun-alun? Bukankah di sana ada pesta besar?”
“Nak, aku tidak suka dengan baginda. Adat mana yang memperbolehkan bapak menikahi anaknya?” Kata Si nenek.
“Nek, aku lapar sekali, apakah nenek punya makanan” kata bujang kurap sambil memegang perutnya.
“Aduh anak muda…, sejak pagi nenek belum makan. Di rumah nenek tidak ada makanan nak”
“Jangan takut nek, lihatlah di situ sudah ada makanan untuk kita”
Ajaib! tiba-tiba munculah hidangan yang lezat-lezat tergelar di tikar.
”Mari nek kita makan sama-sama”. Sang nenek makan bersama Bujang Kurap. Selesai makan, Bujang Kurap berpesan dengan nenek.
“Nek, apakah nenek ada lidi kelapa hijau dan parang?”
“Untuk apa anak lanang?”
“Aku akan membuat rakit dari aur kuning dan meraut tujuh helai lidi, nek. Apabila terjadi sesuatu, naiklah nenek di atas rakit yang akan kuikat di tiang pondok nenek”. Si nenek mengangguk mengerti. Tahulah nenek bahwa pemuda yang dihadapannya bukanlah pemuda sembarangan. Lalu Bujang Kurap menuju alun-alun tempat pesta setelah berpamitan dengan nenek Bengkuang.
Sampai di tempat pesta, kembali Bujang Kurap ditendang, dilempari, diludahi dan di hardik disuruh pergi. Mendapatkan hinaan tersebut, naiklah darah Bujang Kurap. Di tancapkannyalah tujuh helai lidi itu ke tanah.
“Hai!! Orang-orang sombong! Baik! Kalian boleh membunuh atau mengusirku dari sini. Setelah kalian berhasil mencabut lidi yang kutancapkan ini” Lalu Bujang Kurap menancapkan lidi tersebut dekat kakinya. Semua mentertawakan dan meremehkannya. Bergantian mereka mencabut lidi tersebut.
“Aii!! Cak kepakam nian kau Bujang Busuk!. Hanya mencabut lidi? Ini kan permainan anak kecil” Kata salah seorang penggawal. Tapi tak satupun dari penduduk tersebut yang mampu mencabut lidi yang ditancapkan Bujang Kurap, semua menyerah.
“Hai orang-orang sombong. Hanya mencabut lidi saja kalian tidak mampu” Kata Bujang Kurap. Lalu Bujang Kurap membanca mantranya;
“Ping kecaping piring beling
beruang hitam beruang putih
embun semibar cabut lidi nyiur hijau”
Dan “Hap!!” Apa yang terjadi? Tiba-tiba dari tempat lidi tertancap itu menyembur air yang sangat kencang.
”Tolooong....tolong....” Teriakan minta tolong datang dari mana-mana tak mampu menahan air yang keluar dari bumi begitu kencangnya. Sebentar saja panggung tempat keramaian karam. Dusun Remayu dan penduduknya tenggelam, Dusun yang maha luas berubah menjadi genangan air.
Untuk mengenang kejadian tersebut dusun Remayu berubah menjadi desa Karang Panggung. Dan genagan air yang telah menenggelamkan dusun tersebut karena luasnya maka disebutlah Danau Rayo. Sementara itu, pondok tempat nenek Bengkuang terapung-apung di tengah danau yang berubah menjadi rumput rumpai yang kekuning-kuningan
Sejak saat itu, pahamlah orang jika Bujang Kurap bukanlah manusia biasa. Usai menenggelamkan dusun Remayu, Bujang kurab raib entah kemana.
Sumber; Masyarakat Sungai Jernih-Jamrawi (Suku Anak Dalam) & Catatan Suandi Syam