Ceritanya begini, Pada Zaman dahulu kala ada sebuah desa yang bernama Pagar Remayu, dan
pada akhirnya berubah menjadi Karang Panggung. Dipimpin oleh empat orang
kakak beradik, yaitu Seteguk Abang Mata, Rio Cinde, Raden Cili dan
Bujang Teriti. Di antara keempat kakak beradik itu ada seorang yang
mempunyai anak gadis luar biasa cantiknya. Yang bernama Putri Seruni.
Sejak kecil telah di tinggal mati ibunya.
Tak ada seorangpun yang
berani melamar putri Seruni karena kecantikannya hingga Seruni tumbuh
menjadi gadis dewasa. Karena kecantikannya membuat Raja tidak
mengizinkan lelaki lain mendekatinya. Munculah niat baginda untuk
mempersunting anaknya sendiri untuk dijadikannya permaisuri.
“Aku nak kawin dengan putriku Hulubalang. Tolong kau restui aku” Kata Baginda suatu hari.
“Jangan baginda, ini tidak pantas kita lakukan.
Melanggar adat Baginda” kata Hulubalang meyakinkan.Tapi baginda masih
bersikukuh untuk mengawini putrinya. Semakin dihalangi, semakin besarlah
hasratnya.
Suatu hari baginda pergi menemui seorang Sunan yang bijak di Palembang. Sang Raja bertanya kepada Sunan.
“Sunan, apabila ada orang yang menanam pisang, siapa yang berhak
mengambil buahnya” Lalu jawab Sunan “Tentu orang yang menanamnya”.
“Terima kasih Sunan aku telah mendapat jawabannya” Kata
Raja dengan wajah berseri. Rajapun pulang dan mengabarkan kepada
rakyatnya bahwa Sunan menyetujuinya. Akhirnya tersiarlah keseluruh
pelosok negeri dan dipersiapkanlah pesta besar-besaran tujuh hari tujuh
malam menjelang perkawinan Baginda dengan Putri Seruni anaknya.
Di tengah keramaian pesta, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang buruk
rupa. Badanya penuh koreng yang menjijikan. Semua merasa jijik
melihatnya. Si buruk rupa dihardik, bahkan dilempari dan dicaci maki.
“Hai Bujang Kurap! Mengapa kau datang kemari? Tidak pantas orang
seperti kau datang di pesta yang meriah ini” Kata seorang Hulubalang.
“Kau dengar Bujang Kurap!! Pergi kau dari sini. Kami jijik melihat
badanmu yang penuh kurap dan busuk!!” Akhirnya Bujang Kurap pergi ke
pinggir dusun. Dilihatnya semua masyarakat pergi ke pesta Baginda. Hanya
ada seorang nenek yang berdiam di rumah. Nenek Bengkuang namanya. Sang
nenek sangat ramah menyambut kehadiran Bujang Kurap.
“Nek, mengapa tidak pergi ke alun-alun? Bukankah di sana ada pesta besar?”
“Nak, aku tidak suka dengan baginda. Adat mana yang memperbolehkan bapak menikahi anaknya?” Kata Si nenek.
“Nek, aku lapar sekali, apakah nenek punya makanan” kata bujang kurap sambil memegang perutnya.
“Aduh anak muda…, sejak pagi nenek belum makan. Di rumah nenek tidak ada makanan nak”
“Jangan takut nek, lihatlah di situ sudah ada makanan untuk kita”
Ajaib! tiba-tiba munculah hidangan yang lezat-lezat tergelar di tikar.
”Mari nek kita makan sama-sama”. Sang nenek makan bersama Bujang Kurap. Selesai makan, Bujang Kurap berpesan dengan nenek.
“Nek, apakah nenek ada lidi kelapa hijau dan parang?”
“Untuk apa anak lanang?”
“Aku akan membuat rakit dari aur kuning dan meraut tujuh helai lidi,
nek. Apabila terjadi sesuatu, naiklah nenek di atas rakit yang akan
kuikat di tiang pondok nenek”. Si nenek mengangguk mengerti. Tahulah
nenek bahwa pemuda yang dihadapannya bukanlah pemuda sembarangan. Lalu
Bujang Kurap menuju alun-alun tempat pesta setelah berpamitan dengan
nenek Bengkuang.
Sampai di tempat pesta, kembali Bujang Kurap
ditendang, dilempari, diludahi dan di hardik disuruh pergi. Mendapatkan
hinaan tersebut, naiklah darah Bujang Kurap. Di tancapkannyalah tujuh
helai lidi itu ke tanah.
“Hai!! Orang-orang sombong! Baik! Kalian
boleh membunuh atau mengusirku dari sini. Setelah kalian berhasil
mencabut lidi yang kutancapkan ini” Lalu Bujang Kurap menancapkan lidi
tersebut dekat kakinya. Semua mentertawakan dan meremehkannya.
Bergantian mereka mencabut lidi tersebut.
“Aii!! Cak kepakam nian
kau Bujang Busuk!. Hanya mencabut lidi? Ini kan permainan anak kecil”
Kata salah seorang penggawal. Tapi tak satupun dari penduduk tersebut
yang mampu mencabut lidi yang ditancapkan Bujang Kurap, semua menyerah.
“Hai orang-orang sombong. Hanya mencabut lidi saja
kalian tidak mampu” Kata Bujang Kurap. Lalu Bujang Kurap membanca
mantranya;
“Ping kecaping piring beling
beruang hitam beruang putih
embun semibar cabut lidi nyiur hijau”
Dan “Hap!!” Apa yang terjadi? Tiba-tiba dari tempat lidi tertancap itu menyembur air yang sangat kencang.
”Tolooong....tolong....” Teriakan minta tolong datang
dari mana-mana tak mampu menahan air yang keluar dari bumi begitu
kencangnya. Sebentar saja panggung tempat keramaian karam. Dusun Remayu
dan penduduknya tenggelam, Dusun yang maha luas berubah menjadi genangan
air.
Untuk mengenang kejadian tersebut dusun Remayu berubah
menjadi desa Karang Panggung. Dan genagan air yang telah menenggelamkan
dusun tersebut karena luasnya maka disebutlah Danau Rayo. Sementara
itu, pondok tempat nenek Bengkuang terapung-apung di tengah danau yang
berubah menjadi rumput rumpai yang kekuning-kuningan
Sejak saat itu, pahamlah orang jika Bujang Kurap bukanlah manusia
biasa. Usai menenggelamkan dusun Remayu, Bujang kurab raib entah
kemana.
Sumber; Masyarakat Sungai Jernih-Jamrawi (Suku Anak Dalam) & Catatan Suandi Syam