Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena
telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin
membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu
pengajaran itu memberi manfa'at kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya
serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia
tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan
bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka
kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran
Rabb itu adalah suatu peringatan, maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah
ia memperhatikannya. (Qs. Abasa)
Abdullah Ibnu Ummi
Maktum radhiallâhu 'anhu
Siapakah dia dan darimana
asal-usulnya?
Apakah ia mempunyai kedudukan sosial dalam kabilah
Arab atau tengah-tengah kaum Quraisy? Apakah ia
tergolong salah seorang penyair tenar yan suaranya berkumandang di Suuq
'Ukazh, mendeklamasikan kepahlawanan dan keutamaan suatu kabilah, lalu
suaranya itu terdengar ke sana kemari, menjadi pembicaraan orang
ramai? Atau, barangkali ia seorang ahli perang yang
berani dan pahlawan yang tak terkalahkan di medan laga, yang dijagokan para penyair
dalam syairnya? Atau, ia termasuk salah seorang tokoh
yang berpikiran cerdik dan jenius, suara dan caranya diterima serta dihargai
para tokoh Arab dan penguasanya?
Ibnu Ummi Maktum
radhiallaahu 'anhu bukanlah salah seorang dari mereka, bahkan namanya pun
belum pernah dikenal orang sebelum Islam. Apalagi orang akan mengindahkan suaranya. Ia
seorang awam di kota Mekah, hidup untuk diri dan
bersama dirinya. Suaranya tidak pernah didengar orang dan
rupanya tidak pernah dikenal orang.
Malah,
namanya pun ada yang memperselisihkan. Penduduk
kota Madinah berpendapat bahwa namanya
adalah Abdullah Ibnu Ummi Maktum, tetapi orang
Iraq berpendapat bahwa namanya adalah
'Amru bin Ummi Maktum. Walaupun demikian, mereka semua sepakat bahwa nama ibunya adalah Atikah binti Abdullah bin Ma'ish. Dia adalah putera dari bibi Khadijah binti Khuwalid.
Matanya buta sejak kecil,
penduduk kota Mekah mengenalnya sebagai seorang
yang rajin mencari rezeki dan belajar ilmu pengetahuan. Meskipun ia seorang
tunanetra , namun semangatnya bergelora untuk belajar
dan mengetahui segala yang didengarnya. Ia menggunakan
pendengarannya sebagai pengganti matanya, apa yang didengarnya tidak dilupakan
lagi sehingga ia mampu mengutarakan kembali apa yang pernah didengarnya dengan
baik sekali.
Dia mendengar orang-orang
mustadh'afin dan budak-budak (hamba sahaya) di
kota Mekah bersembunyi-sembunyi pergi
ke Darul Arqam untuk mendengarkan berita-berita dari langit yang
dibawakan Muhammad al-Amin. Ia merasa bahwa di Mekah
terjadi pergolakan yang lain dari biasanya. Perang urat saraf mulai tampak di
permukaan ; wahyu yang disampaikan kepada Muhammad
al-Amin itu menganjurkan persamaan dan persaudaraan antar sesama umat manusia.
Kaum Mustadh'afin dan para hamba sahaya tertarik akan semua seruan itu,
sedangkan tohok-tokoh Quraisy berusaha keras
mempertahankan system kehidupan Jahiliah, tanpa mengindahkan perkembangan
zaman dan tuntutan hati nurani masyarakat umum.
Ibnu Ummi Maktum
memutuskan untuk pergi sendiri ke majelis Ibnul Arqam untuk mendengarkan dan
meyakini berita yang sedang ramai diperbincangkan
orang itu. Ia mengambil tongkatnya dan mengayunkan
langkahnya menuju kesana. Ternyata apa yang didengarnya
lebih hebat dari apa yang diberitakan orang; rasanya suara yang didengarnya
berhasil membuka pintu hatinya dan menimbulkan rasa ketenangan serta kedamaian
dalam kalbunya. Kini, ia tidak takut dan gentar terhadap seluruh kekuatan bumi,
sesudah ia mendengarkan kalamullah yang diwahyukan kepada Muhammad al-Amin
dengan perantaraan Malaikat Jibril, untuk mengukuhkan tauhid kepada Allah
al-Khaliq, untuk mempersamakan antar umat manusia, untuk menegakkan keadilan
antar berbagai lapisan masyarakat, dan untuk mengumandangkan rasa persaudaraan
serta kedamaian ke seluruh pelosok dunia yang sedang dilanda kezaliman dan
kesesatan.
Ibnu Ummi Maktum
mengulurkan tangannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
menyatakan ke-Islamannya, keluar dari lingkungan Jahiliah, dan masuk kedalam
barisan kaum beriman, menyatakan janji kepada Allah Ta'ala dan kepada Rasul-Nya
untuk mengorbankan segala-segala, termasuk nyawanya demi tegaknya agama Islam.
Semangatnya untuk mengetahui agama itu lebih banyak dan mendalam, tidak
tertahankan lagi; di saat ada kesempatan bertanya, ia mengajukan pertanyaan
tentang berbagai persoalan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam . Apa yang didengarnya dicerna dan diresapi dengan
sebaik-baiknya.
Kaum
Quraisy tidak mampu menumpas dakwah langit itu. Akhirnya,
mereka mengubah taktik dengan memperlambat gerak dan mempersempit penyebarannya
dengan mengejar-ngejar dan memaksa para pengikutnya yang tidak berdaya dan tidak
bersenajta. Akhirnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam .
Memberikan izin kepada para pengikutnya pergi
berhijrah dengan membawaserta agamanya. Di antara para
Muhajirin itu terdapat Ibnu Ummi Maktum. Para sejarawan muslim berbeda pendapat
tentang sejarah hijrahnya itu.
Ada yang menetapkan bahwa ia hijrah sesudah perang Badar dan tinggal di
Darul Qurra'. Ada pula yang mengatakan bahwa ia hijrah sebelum Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
tiba di Madinah, sebelum perang Badar. Saya lebih condong menerima riwayat
yang terakhir ini, seperti yang diutarakan Abu Ishaq dari al-Barra' bin Azib,
'Pada waktu itu, orang yang pertama hijrah ke negeri kami ialah Mush'ab bin
Umair dari bani Abdid-Dar bin Qushai. Kami tanyakan kepadanya
, 'Apa kabar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ?' Ia menjawab , 'Beliau baik-baik saja di Mekah, sedang para
sahabat-nya akan segera menyusulku.' Sesudah itu datang
Abdullah Ibnu Ummi Maktum yang tunanetra itu. Kami tanyakan pula
kepadanya, 'Apa kabar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam .?'
Ia menjawab 'Mereka segera akan menyusulku.'"
Ia mulai melakukan
tugasnya yang sejak lama sudah dipersiapkannya dengan mengajukan banyak
pertanyaan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, yaitu
mengajarkan dasar-dasar agama Islam, mengajar penduduk kota Madinah menghafal
ayat-ayat al-Qur'anul-Karim, dan menyiapkan hati serta jiwa masyarakat menyambut
kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam . Tak lama setelah
itu, sampailah berita bahwa Rasulullah akan segera
datang di Madinah. Ibnu Ummi Maktum bersama para penyambut lainnya
berderet-deret di tepi jalan menyambut kedatangan kekasih Allah yang sudah lama
tidak terdengar suara dan pelajarannya.
Menurut
sebagian perawi, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tinggal di rumah
Bani an-Najjar. Beliau lalu
membangun masjidnya untuk dijadikan sekolah terbesar bagi generasi yang pernah
dikenal umat manusia, yang mengemban petunjuk dan Kitab Allah. Ibnu Ummi
Maktum senantiasa menyertai kegiatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam . Ia ikut aktif dalam pembangunan masjidnya, tidak pernah absen
dalam mengikuti pelajaran yang diberikannya, selalu shalat jama'ah di belakang
beliau, dan hampir tidak ada ayat yang turun di Madinah yang tidak diketahuinya.
Malah, ia puaskan telinganya dalam mendengarkan semua sabda Rasulullah dan
pengarahan langit yang dikirimkan Allah Ta'ala kepada hamba-Nya, untuk
memancarkan persamaan, kedamaian, dan keadilan di seluruh jagat raya ini.
Menurut Anas bin Malik
radhiallaahu 'anhu, "Pada suatu hari, Malaikat Jibril datang kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam . Disana ada Ibnu ummi Maktum; ia
lalu bertanya , 'Sejak kapan kau tidak dapat melihat?'
'Sejak
kanak-kanak.'
'Allah
Ta'ala berfirman, 'Apabila Aku mengambil indra penglihatan hamba-Ku, tiada
imbalan baginya selain surga."
'Selamat bagimu, wahai Ibnu Ummi
Maktum! Engkau
telah berhasil menjadi sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam dan mendapat berita gembira masuk surga,
langsung dari malaikat Jibril.'"
Apabila
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjumpainya, beliau suka
berucap, "Selamat datang, wahai orang yang dititipkan Tuhanku untuk diperlakukan
dengan baik!"
Apabila Bilal
radhiallaahu 'anhu tidak ada, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
suka sekali menyuruhnya mengumandangkan azan shalat lima waktu karena
suaranya merdu dan lembut, tetapi kalau Bilal hadir, ia yang adzan dan Ibnu Ummi
Maktum yang iqamat. Pada bulan Ramadhan, Bilal radhiallaahu 'anhu azan
untuk mengingatkan orang akan waktu makan-minum sahur,
tetapi kalau terdengar azan Ibnu Ummi Maktum, makan-minum harus dihentikan; itu
tanda waktu imsak sudah tiba.
Menurut Abdullah bin Umar
radhiallaahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah
bersabda, "Apabila bilal azan pada malam hari, maka kalian boleh makan dan minum
hingga mendengar azannya Ibnu Ummi Maktum!"
Ibnu Ummi Maktum termasuk
sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang sangat mencintai
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam . Di hatinya,
beliau lebih dari sanak keluarga, bahkan dari diri pribadinya sendiri.
Mereka semua, termasuk Ibnu Ummi Maktum, sanggup menahan derita serta cerca
orang terhadap diri dan sanak keluarganya, bahkan bisa memaafkan hal itu, tetapi
tidak bisa menerima dan memaafkan hal itu bila ditujukan kepada Rasulullah.
Ibnu
Ummi Maktum pernah tinggal di rumah seorang wanita Yahudi, bibi seorang
Anshar. Wanita itu baik budi dan melayani makan-minumnya, tetapi mulutnya
tidak pernah diam menyerang orang-orang yang paling dicintai Ibnu Ummi
Maktum. Ia tidak sabar mendengar ejekan dan
cercaan itu. Ia berusaha beberapa kali menegurnya,
tetapi teguran dan peringatannya itu tidak diindahkan. Terpaksalah ia memukulnya. Ternyata pukulan itu
mematikan. Hal ini dilaporkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam sesudah ia dihadapkan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
bertanya,
"Mengapa kau bertindak demikian?"
"Wahai Rasulullah! Sungguh, ia seorang yang baik budi terhadap diriku, namun ia
senantiasa mencela dan mencerca Allah dan Rasul-Nya, maka terpaksalah aku
memukulnya untuk menghentikannya, namun kiranya ajalnya sudah sampai."
"Allah telah
menjauhkannya dan ia telah membatalkan darahnya?????."
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam sering mengangkatnya sebagai wakil apabila
beliau keluar meninggalkan Madinah dalam peperangan, umpamanya ketika pergi
menyerang Kabilah Banu Sulaim dan Kabilah Ghathafan. Ia
menjadi Imam jamaah dan Khatib shalat Jumat. Begitu pula ketika Rasulullah pergi
berperang ke Uhud, Hamra'al-Asad, Bani an-Nadhir, Khandaq, Bani Quraizah, Bani
Lahyan, al-Ghabah, Dzi Qirad, dan Umrah al-Hudaibiyah.
"Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam terlibat dalam penyerangan ofensif sebanyak
tiga belas kali; beliau selalu mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai pejabat untuk
menggantikannya di Madinah, mengimami orang shalat jamaah, dan lain-lain,
padahal ia seorang tunanetra," demikian ucap
asy-Sya'bi.
Ia mengikuti kehidupan
sosial dan politik kaum muslimin, mengikuti kegiatan berbagai perutusan yang
pergi dan datang menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam . Ia sering sekali berpuasa dan shalat malam. Hampir seluruh masa hidupnya diisi dengan peribadatan atau ikut
berperang altig?????? dalam kegiatan kaum
muslimin. Kemudian, turunlah firman Allah,
"Tidaklah sama antara mukmin yang
duduk (yang tidak terut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang
yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan
jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat…"
(Q.,. 4/an-Nisaa': 95)
Jadi, di
sana masih terdapat lapangan
peribadahan yang ganjarannya lebih utama dari ganjaran yang mungkin
diperolehnya. Ada suatu taqarrub
yang dilakukan orang, yang lebih mendekatkan orang itu kepada Allah Ta'ala lebih
dari dirinya.
Ia lalu merintih menangisi nasibnya kepada Allah
Ta'ala, "Ya Allah, Engkau mengujiku dengan kebutaan. Apa yang
dapat aku lakukan selain mengharap rahmatMu yang meliputi
segala-galanya." Lalu turunlah firman-Nya,..
"yang tidak mempunyai uzur…," sebagai
pelengkap.
Menurut Ibnu Abbas
radhiallaahu 'anhu, "Ketika firman Allah, 'Tidaklah sama antara mukmin
yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan
orang-orang yagn berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka…,'
diturunkan, Abdullah bin Ummi Maktum yang buta (tunanetra) itu datang menemui
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam , lalu bertanya, 'Wahi
Rasulullah, Allah telah menurunkan keutamaan jihad fi sabilillah ;
seperti yang baginda ketahui, aku ini seorang tunanetra, tidak bisa ikut
berjihad, apakah kepadaku diberi izin tidak ikut berjihad?
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menjawab, 'Aku belum mendapat keterangan mengenai dirimu
dan orang-orang yang senasib denganmu.'
Ibnu
Ummi Maktum lalu menengadahkan wajahnya dan mengangkat kedua tangannya seraya
berseru, 'Ya Allah, aku memohon pertimbangan-Mu mengenai pengelihatanku
ini.' Lalu,
turunlah ayat, 'Tidak sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut
berperang) yang tidak mempunya uzur dengan orang yang
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka…'"
Izin sudah ia peroleh dari Allah Ta'ala; apakah ia memanfaatkan izin
itu? akan mengikuti pasukan Islam yang menuju ke
al-Qadisiyah. Ia ingin memperoleh ganjaran seorang
mujahid. Ia memohon kepada komandan perang, "Hai kekasih Allah, hai sahabat
Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam , Hai
pahlawan perang, serahkan bendera perang itu kepadaku. Aku
seorang tunanetra, tak mungkin bisa lari. Nanti
tempatkanlah aku diantara kedua pasukan yang berperang."
Menurut Qotadah, Anas bin
Malik radhiallaahu 'anhu berkata: "dalam perang al-Qadisiyah, Abdullah
bin Ummi Maktum memegang bendera hitam dan memakai baju besi."
Ia lalu kembali ke Madinah dan
meninggal dunia di sana. Semoga Allah
Ta'ala merahmatinya, aamin.
Sebab turunnya
Ayat
Menurut Ibnu Abbas
radhiallaahu 'anhu : "Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
sedang menerima kedatangan Utbah bin Rabi'ah, Abu Jahal, dan al-Abbas bin
Abdul Muththalib, pada waktu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
berusaha keras menawarkan Islam kepada mereka supaya mereka beriman,
tiba-tiba datanglah seorang tunanetra yang dikenal dengan panggilan Abdullan bin
Ummi Maktum. Ia minta kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam supaya kepadanya dibacakan ayat-ayat Al-Qur'anul Karim, "Ya
Rasulullah, ajarkan kepadaku apa yang diajarkan Allah kepadamu!".
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam lalu mengerutkan mukanya dan memalingkan pandangannya,
kesal kepada omongannya. Ia lalu meneruskan
pembicaraannya melayani tamu-tamunya. Sesudah pertemuan itu usai, beliau terus
pergi dan keluarganya meninggalkan tempat itu, kemudian turunlah ayat, " 'Abasa warawalla" .
Sesudah
ayat-ayat itu turun, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sangat
menghormati Ibnu Ummi Maktum. Kalau ia datang, selalu
ditanyakan," Apa keperluanmu..? Apa
perlu bantuanku?" Kalau ia hendak pergi, selalulah
ditanyakan," Apakah kau memerlukan sesuatu?"
Seorang
miskin yang tunanetra itu datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam seperti biasanya ingin belajar dan memperdalam agama Allah
Ta'ala. Kali ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sedang
sibuk melayani beberapa tokoh Quraisy, dengan harapan kalau mereka masuk Islam
maka akan meringankan tugasnya dan akan memudahkan perkembangan agama itu karena
merekalah yang selalu merintangi perkembangan Islam dengan harta, kedudukan, dan
wibawanya. Mereka berusaha keras menghalang-halangi orang dari agama
Islam dan menyempitkan ruang gerak dakwah dengan
berbagai cara sehingga hampir tidak berkembang di Mekah. Orang-orang di luar
kota Mekah sudah tentu sulit menerima
agama baru yang ditentang keras oleh orang-orang yang paling dekat dengan
penganjurnya itu.
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menyibukkan diri dengan orang-orang itu bukan demi
kepentingan pribadinya, tapi demi kepentingan pengembangan Islam dan kepentingan
kaum muslimin juga. Kalau mereka masuk Islam maka
diharapkan semua rintangan yang membentang di hadapan para dai dan dakwah Islam
bisa disingkirkan. Ibnu Ummi Maktum mengulang-ngulang
harapannya itu sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam makin
kesal dan gusar karena ia telah mengganggu pembicaraannya dengan para tamunya
itu. Rasa benci nampak diwajahnya dengan mengerutkan
mukanya dan juga memalingkan pandangannya. Disini,
Allah berfirman dengan jelas dan tegas, dan mencela sikap Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam seorang yang memiliki akhlak yang luhur. Firman-Nya,
Dia
(Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta
kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu
memberi manfa'at kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka
kamu melayaninya. (Q.,.
'Abasa: 1-6)
Sejak
itulah, kata ats-Tsauri, kalau Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
melihat Ibnu Ummi Maktum datang, beliau menggelar baju luarnya seraya bersabda,
"Selamat datang sahabat, yang kau dicela Tuhanku karenannya! Apa kau
memerlukan sesuatu?"
Renungan
Kami ucapkan selamat
kepadamu, sahabat Rasulullah, atas darmabaktimu terhadap agama Islam dan kaum muslimin, dan dengan ganjaransurga Tuhanmu yang kau
raih.
Seorang
yang buta matanya, tetapi tajam matahatinya. Allah Ta'ala
mengabadikan namanya dalam Al-Qur'anul Karim, sekaligus diproklamasikan
berdirinya suatu negara orang-orang saleh yang berbudi luhur, suatu negara
pemeluk Ilahi di muka bumi. Ia sebagai
proklamasi bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan keimanan harus ditegakkan. Hak asasi manusia untuk bersaing secara sehat dan untuk mendapatkan
persamaan dan keadilan dijamin untuk merealisasikan firman-Nya, "Sesungguhnya
orang-orang yang termulia di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling
bertaqwa."
Sejak
saat itulah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyambut baik
kedatangan para sahabatnya yang terbilang lemah dan miskin, yang ternyata
kemudian suara mereka menggema ke seluruh permukaan bumi, mengumandangkan suara
perdamaian, keadilan persamaan, dan persaudaraan. Mereka
pancarkan cahaya agama Alah Ta'ala untuk menghalau kegelapan dan kesesatan;
mereka berusaha keras menanggulangi kebodohan dan kemiskinan; dunia menyambut
kedatangan mereka sebagai pemimpin dan guru.
Segelintir orang keluar
dari tengah-tengah gurun pasir yang gersang , pergi mengembara ke Timur,
menerobos benteng Cina yang besar, mengembangkan agama Allah Ta'ala sampai ke
pedalaman negeri itu. Mereka mengembangkan agama Allah ke
India dan kepulauan-kepulauan di Lautan Teduh, lalu berhasil menerobos ke Eropa,
maka bertemulah Timur dan Barat dalam pengakuan Islam. Pasukan Maslamah
bin Abdul Malik berhasil menaklukan Konstantinopel di sebelah Timur, sedangkan
pasukan Abdurrahman al-Ghafiqi berhasil membebaskan Iberia (Spanyol dan
Portugal) dari sebelah barat, sehingga para pelaut Islam menguasai Laut Tengah
sepenuhnya, memiliki dan mengawasi keamanan pulau-pulau yang ada, sehingga
pelayaran antar pulau-pulai itu, Sicilia, Siprus, dan Koriska, tempat Napoleon
diasingkan, berjalan dengan lancar dan aman. Salah seorang
penyair menggambarkan masa jaya itu sebagai berikut.
"Dahulu, mereka hanyalah
penggembala unta sebelum kebangkitannya.
Sesudah itu, mereka penuhi alam raya ini dengan peradaban.
Apabila menara masjid di tengah negeri Cina mengumandangkan azan, Anda akan mendengarkan di negeri Maghribi suara tahlil orang shalat.".
Sesudah itu, mereka penuhi alam raya ini dengan peradaban.
Apabila menara masjid di tengah negeri Cina mengumandangkan azan, Anda akan mendengarkan di negeri Maghribi suara tahlil orang shalat.".